LUMAJANG, NEWS9 – Wali murid SMA Negeri di Lumajang mengaku kecewa berat atas kebijakan pengadaan seragam yang dinilai sepihak dan tidak transparan.
Orang tua tidak pernah diajak rapat, tidak ada grup komunikasi resmi sekolah, namun anak-anak sudah dibebani kewajiban membeli seragam dengan harga mencapai hampir Rp 2 juta.
Contoh kasus di SMA Negeri 2 Lumajang, pada akhir Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS), Jumat (18/7/2025), siswa baru ditunjukkan beberapa stel kain bahan seragam yang wajib digunakan.
Biaya yang dipatok sekolah mencapai Rp 1.670.000, belum termasuk paket lima jilbab senilai Rp 350.000 untuk siswi perempuan.
Parahnya, informasi itu disampaikan hanya kepada siswa. Orang tua sama sekali tidak dilibatkan dalam penentuan, bahkan tidak ada kwitansi maupun rincian biaya resmi.
Salah seorang wali murid yang mencoba meminta kejelasan lewat anaknya justru mendapat jawaban bahwa pembayaran dilakukan mulai Senin (21/7/2025) hingga Jumat (25/7/2025).
Bila mencicil, siswa hanya akan menerima bahan sesuai nilai uang muka.
“Anak saya statusnya siswa, bukan pekerja yang punya gaji. Jadi wajar kalau urusan bayar-membayar kembali kepada orang tua. Kebijakan ini justru seolah mengadu domba anak dengan orang tua. Tidak mungkin orang tua menolak permintaan anaknya soal kebutuhan sekolah,” keluh salah satu wali murid.
Ketiadaan forum resmi atau grup komunikasi sekolah membuat banyak orang tua merasa dipinggirkan.
Informasi penting soal seragam justru dititipkan lewat anak. Bagi orang tua, hal itu bukan sekadar soal biaya, melainkan juga bentuk penyingkiran dari hak untuk mengetahui dan mengawasi keuangan sekolah.
“Serius apa tidak sih kepala cabang dinas ini, hingga saat ini saya masih belum dikabari, padahal nomor HP saya sudah diminta,” ujar F , salah seorang wali murid SMAN 2 Lumajang yang kecewa terhadap sikap Kepala Cabang Dinas Pendidikan Jatim Wilayah Jember–Lumajang, Sugeng Irianto.
F menegaskan, sampai beberapa hari setelah nomor ponselnya dicatat, ia tidak mendapat kabar, baik dari pihak sekolah maupun cabang dinas.
Alih-alih memberikan kejelasan, pejabat dinas dan kepala sekolah justru memilih menghindar.
Seusai mendatangi rumah wali murid, Sugeng Irianto masuk ke ruang kepala sekolah. Namun saat wartawan menunggu konfirmasi, ia dan kepala sekolah keluar lewat jalur berbeda agar tak berhadapan dengan media.
“Lo kog masih ada di sini sampean, barusan kepala cabang dinas sudah keluar lewat sebelah timur, jalannya mengendap-endap masuk mobil, kepala sekolah lewat barat, apa sampean tahu,” ungkap salah seorang pegawai sekolah.
Praktik penjualan seragam oleh sekolah negeri jelas bertentangan dengan aturan. Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah secara tegas melarang sekolah melakukan pungutan, termasuk mewajibkan pembelian seragam melalui koperasi atau pihak ketiga.
Tidak adanya pelibatan orang tua, ketiadaan grup komunikasi resmi, dan minimnya transparansi menegaskan lemahnya akuntabilitas pihak sekolah. Dalih “pembelajaran kemandirian siswa” justru dianggap mengaburkan masalah, karena siswa bukanlah pihak yang seharusnya menanggung urusan keuangan sekolah.
Kasus seperti ini terjadi di SMA Negeri yang ada di Lumajang, semakin menguatkan dugaan adanya pembiaran dan lemahnya pengawasan oleh dinas pendidikan.
Jika pola seperti ini terus dibiarkan, kepercayaan orang tua terhadap sekolah negeri bisa runtuh, dan dunia pendidikan hanya akan menjadi ladang bisnis di balik seragam. ***