SURABAYA, NEWS9 – Skandal dugaan korupsi di tubuh Dinas Pendidikan Jawa Timur kembali menyingkap wajah buram birokrasi.
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim pada Kamis, (11/9), resmi menetapkan SR, mantan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur, sebagai tersangka baru dalam perkara dugaan korupsi pengelolaan dana hibah dan belanja modal tahun anggaran 2017.
Penetapan tersebut menambah daftar panjang pejabat yang terseret.
Dua pekan sebelumnya, pada (26/8), penyidik telah menetapkan H, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan JT, pengendali penyedia (beneficial owner).
Nama SR kini memperjelas konstruksi perkara, dugaan korupsi yang didesain terstruktur di balik anggaran raksasa untuk pendidikan.
Padahal dana hibah dan belanja modal itu mestinya mengalir ke sekolah menengah kejuruan (SMK), baik swasta maupun negeri, untuk membangun laboratorium, ruang praktik, dan fasilitas belajar.
Namun, menurut penyidik, uang rakyat miliaran rupiah itu justru diduga dimanipulasi, hingga menimbulkan kerugian negara mencapai Rp179,975 miliar.
“Proses penegakan hukum akan terus kami lakukan secara profesional, transparan, dan akuntabel,” kata pejabat Kejati Jatim.
Janji ini bukan sekadar pernyataan normatif. Skala kerugian yang disebut fantastis menuntut keseriusan penuh, bukan sekadar penetapan nama di atas kertas.
Yang mencengangkan, SR tidak ditahan. Alasannya, ia masih mendekam di penjara dalam perkara lain, yakni korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) Pendidikan Jatim 2018, dengan nilai kerugian Rp8,2 miliar.
Fakta bahwa seorang pejabat yang pernah menjadi nakhoda pendidikan provinsi terseret dua kasus korupsi berbeda menegaskan kegagalan sistem pengawasan dan integritas birokrasi.
Ketua Umum Pemantau Keuangan Negara (PKN), Patar Sihotang, menyebut langkah Kejati Jatim patut diapresiasi.
“Kinerja Kejati Jatim patut dijadikan contoh bagi lembaga penegak hukum lainnya, yang tak kenal lelah memulihkan kerugian negara dan memberikan keadilan bagi masyarakat,” ujarnya.
PKN, kata dia, akan terus mengawasi kasus ini hingga seluruh pihak yang terlibat diproses sesuai hukum.
Namun, apresiasi publik saja tak cukup. Kasus ini meninggalkan pertanyaan mendasar, bagaimana mungkin program pendidikan yang mestinya menopang masa depan jutaan siswa SMK justru menjadi ladang bancakan elite birokrasi?
Bagaimana pula mekanisme pengawasan internal pemerintah daerah bisa sedemikian longgar, sehingga kerugian negara tembus ratusan miliar rupiah tanpa tercium sejak awal?
Kasus SR adalah alarm keras bagi pejabat publik, kursi jabatan bukan tempat untuk memperkaya diri, melainkan amanah.
Setiap rupiah uang rakyat adalah titipan yang harus dipertanggungjawabkan. Jika tidak, penjara menjadi alamat terakhir. ***